Garuda Indonesia, Si Unggas Wisnu yang Mendunia

Date:

Hamba Garuda,
Unggas Wisnu,
Terhampar tinggi sayapnya
Di puncak Kepulauanmu

Sajak gubahan penyair Raden Mas Noto Soeroto di atas, yang ditulis dalam bahasa Belanda, itu sejatinya sudah dikutip Soekarno berulang kali kala ia hadir dan berbicara di depan khalayak selama Konferensi Meja Bundar (KMB) di 23 Agustus hingga 2 November 1949. Dari sajak ini pula, Soekarno mendapat inspirasi mengganti nama perusahaan penerbangan Hindia Belanda KLM Interinsulair Bedrijf alias KLM-IIB menjadi Garuda Indonesian Airways (GIA). 

Tapi kisah sebenarnya berawal di 25 Desember 1949, atau sebulan lebih pasca peristiwa KMB itu. Di hari itu, Soekarno mendapat jadwal untuk menemui Dr. Konijnenburg—teman sekaligus perwakilan KLM-IIB, yang menurut rencana akan menghadap dan melapor kepada presiden yang sedang berada di Yogyakarta itu, bahwa KLM-IIB akan diserahkan kepada pemerintah sesuai hasil KMB. 

Di depan Soekarno juga, Konijnenburg meminta kepada dia agar berkenan memberi nama untuk perusahaan penerbangan itu. Sebab, dalam acara penyerahan KLM-IIB ke pemerintah Indonesia di Jakarta, pesawat yang membawa Soekarno dari Yogyakarta nanti akan dicat sesuai dengan nama itu. Permintaan Konijnenburg itu ditanggapi Soekarno dengan menukil sajak di atas. Dalam versi bahasa Belanda, Soekarno pun menjawab:

Ik ben Garuda, 
Vishnoe's vogel, 
die zijn vleugels 
uitslaat hoog boven
uw eilanden
       

Maka, di 28 Desember 1949, dengan mengangkut Presiden Soekarno dari Yogyakarta ke Jakarta, penerbangan bersejarah menggunakan pesawat DC-3 dilangsungkan atas nama GIA, yang diberikan Soekarno kepada perusahaan penerbangan pertama ini. “Sejak tanggal itu juga, KLM-IIB akhirnya resmi dinasionalisasi menjadi Garuda Indonesian Airways,” tulis 40 jaar luchtvaart in Indië atau 40 Tahun Kedirgantaraan Hindia, buku bertahun 1986 milik Gerard Casius dan Thijs Postma itu.

1940 sampai 1960-an: Titi Permulaan

KLM-IIB memang bukan perusahaan dirgantara yang pertama kali ada di Indonesia. Sebelumnya, Koninklijke Nederlandsch-Indische Luchtvaart Maatschappij atau KNILM ialah yang sudah lebih dulu hadir di Tanah Air. Namun, bersamaan dengan Hindia Belanda jatuh ke tangan Jepang, maskapai KNILM selanjutnya ikut dibubarkan di Maret 1942.

Tanggal 1 Agustus 1947, atau setelah Jepang menyerah kepada Sekutu, Belanda yang kembali ke Tanah Air kemudian mendirikan perusahaan penerbangan lagi bernama KLM-IIB. Sebagaimana telah disinggung di atas, usai pertemuan Republik Indonesia Serikat (RIS) dan Belanda di Den Haag dalam KMB, KLM-IIB akhirnya dikuasai secara penuh pemerintahan Soekarno dan namanya diubah menjadi GIA. 

Pada awalnya, secara menajemen bisnis, GIA ialah joint venture antara pemerintah Indonesia dan Belanda. Kalkulasinya, 51 persen saham dipegang Indonesia dan 49 persen sisanya dikuasai negara berjuluk Negeri Kincir Angin itu. Di 1954, barulah seluruh saham GIA dimiliki pemerintah.

Dari awal hingga pertengahan1950-an, GIA tercatat sudah memiliki 38 armada, dengan pesawat DC-3 berjumlah 22, amfibi Catalina sebanyak 8, dan 8 lainnya pesawat berjenis Convair 240. Melalui pesawat Convair ini pula, di 1955 maskapai ini resmi melayani penerbangan haji menuju Jeddah dengan rute Jakarta - Bangkok - Kolkata - Karachi - Sarjah - Jeddah dengan membawa 40 jemaah haji ketika itu.

Sepanjang tahun 1960-an, jumlah armada GIA terus bertambah, termasuk 3 pesawat Lockheed L-188 Electra dan jenis Convair 990 Coronado sebanyak 1 pesawat. Rute perjalanan ke negara-negara di Asia pun ikut meningkat, yang antara lain menuju Hongkong.

Di 1965, setelah memiliki pesawat Douglas DC-8, GIA memberanikan diri merambah empat kota negara Eropa dan satu wilayah Asia lainnya. Yakni, ke Amsterdam, Frankfurt, Roma, Paris, juga Guangzhou. 

1970 sampai 1990-an: Tak Henti Berekspansi

Selama awal 1970-an, untuk operasi jarak pendek dan menengah, GIA telah memiliki jenis McDonnell Douglas DC-9 dan Fokker F28 Fellowship. Bahkan, dengan Fokker F28 Fellowship yang jumlahnya sudah mencapai 62 pesawat saat itu, GIA memegang gelar sebagai operator F28 terbesar di dunia. 

Pada tahun 1976, GIA membeli Douglas DC-10, yang memberikannya kemampuan untuk mengangkut lebih banyak penumpang. Setelah itu, di 1980, untuk pertama kalinya maskapai ini memesan Boeing. Berjenis 747-200, Boeing ini melengkapi pesawat-pesawat yang sudah dimiliki GIA lainnya untuk rute jarak jauh.

21 Juni 1982, GIA berbelanja Airbus A300B4-220FFCC, yang merupakan varian pertama dari Airbus A300. Untuk ukuran negara berkembang seperti Indonesia terlebih di masa itu, pembelian pesawat ini termasuk langkah berani. Sebab, ketika itu Airbus A300B4-220FFCC dipandang salah satu jenis pesawat komersial paling canggih, yang satu di antara kemampuannya bisa dioperasikan hanya dengan dua pilot.

Di 1985, Reyn Altin Johannes Lumenta, yang menjabat direktur utama pada tahun itu, melakukan rebranding dengan mengubah nama dari Garuda Indonesian Airways menjadi Garuda Indonesia. Di saat bersamaan, ia pun memindahkan pangkalan utama, yang sebelumnya berada di Bandara Kemayoran dan Bandar Udara Halim Perdanakusuma, ke Soekarno Hatta. 

Sembari mengerjakan dua program itu, masih di tahun yang sama, Lumenta membuat langkah lanjutan dengan merintis penerbangan menuju Amerika Serikat menggunakan jenis Douglas DC-10-30. Dalam proyek ini, Garuda Indonesia bekerja sama dengan maskapai Continental Airlines, di mana satu di antara perjanjian bisnisnya menyaratkan pemasangan sekaligus dua logo perusahaan itu pada badan pesawat Douglas DC-10-30.     

Berlanjut ke periode 1990-an. Di tahun-tahun ini, seiring pembelian Douglas MD-11, Garuda tak henti meningkatkan jumlah frekuensi dan tujuan penerbangan. Ekspansi pasarnya pun bukan cuma ke negara-negara Asia dan Eropa. Malah, pada periode ini, rute Garuda sudah menembus Amerika Utara.     

2000-an sampai Sekarang: Jatuh, Jatuh, dan Bangun Lagi

Ada rangkaian kejadian yang mengakibatkan mulai jatuhya bisnis penerbangan Garuda. Pertama, mengalami dua musibah besar di 1996—yakni peristiwa “Garuda Indonesia Penerbangan 865” dan “Garuda Indonesia Penerbangan 152”—yang terjadi di dua tempat hingga memakan korban dalam jumlah yang tak sedikit. Dua kecelakaan maut ini membuat citra Garuda menjadi buruk, sampai-sampai memicu penyusutan jumlah penumpang di tiap tahunnya.

Kedua, “Krisis Finansial Asia” di 1997. Bencana ekonomi yang menerpa hampir di seluruh negara Asia dan menciptakan kepanikan global ini memaksa Garuda menghentikan semua rute yang dinilai tak menguntungkan, terutama ke Eropa dan Amerika. Akibat krisis ini juga, secara bertahap jumlah pesawat Garuda pun dikurangi, baik dengan dijual maupun dipensiunkan dini.

Ketiga, munculnya UU No 5/1999—membahas tentang pembatasan praktik monopoli usaha—dan SK Menteri Perhubungan No 11/2001—membahas tentang tata operasional awal maskapai penerbangan dengan batasan armada minimal 2 pesawat. Dua regulasi ini menyebabkan Garuda kehilangan hegemoni di pasar penerbangan domestik.

Keempat, sering terjadi penundaan keberangkatan pesawat. Kelima, adanya peristiwa “Garuda Indonesia Penerbangan 200” di 2007. Akibat dua faktor terakhir ini, citra Garuda di mata dunia semakin buruk. Puncaknya, Uni Eropa memberi surat larangan terbang ke seluruh negara anggotanya bagi semua maskapai Indonesia. 

Tapi, sejak menerima sertifikasi IATA Operational Safety Audit (IOSA) yang menunjukkan Garuda Indonesia telah memenuhi standar keselamatan penerbangan Internasional di 2008, perkembangan bisnis Garuda akhirnya bangkit lagi. 

Pada dekade 2010-an, misalnya. Tepatnya mulai bulan Juni 2012 hingga 2016 lalu, bersama Liverpool FC, Garuda mengadakan perjanjian bisnis dan sepakat sebagai sponsor global untuk klub sepak bola asal Merseyside, Inggris, itu.

Demi mendorong ekspansi bisnis yang lebih, Garuda mulai melakukan Initial Public Offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia dengan kode emiten saham GIAA pada 2011 lalu. Dari transaksi di pasar modal ini, saat itu Garuda berhasil meraup dana hingga Rp 1,53 triliun.   

Bukan hanya bisnis perusahaan yang terus bertumbuh, pelbagai penghargaan juga banyak diterima Garuda. Antara lain, di 2010 menjadi pemenang kategori “World's Most Improved Airline” dari Skytrax, juga mendapat dua penghargaan sekaligus untuk kategori “World Best Economy Class” dan “World Best Economy Class Seat” dari lembaga yang sama di 2013.

Dari Skytrax pula, di 2014 Garuda didapuk sebagai maskapai “berbintang 5”. Selain Garuda, hanya ada 7 maskapai penerbangan di dunia yang mendapat penghargaan ini. Kini, di usianya yang menjelang 72 tahun, Garuda memiliki 10 anak perusahaan yang mencakup di berbagai bidang bisnis, dengan pendapatan bersih di Kuartal III 2020 mencapai Rp 16 triliun lebih.