Harum Energy (HRUM), Perusahaan Yang Sedang Mengubah Diri

Date:

[Waktu baca: 5 menit]

HRUM adalah salah satu dari sekian banyak emiten pertambangan batubara yang listing di bursa efek dalam negeri kita. Kegiatan operasionalnya HRUM sama seperti lazimnya perusahaan pertambangan yang terintegrasi di Indonesia. Mulai dari kegiatan kegiatan penambangan, pengolahan hingga transportasi batubara melalui kapal tongkang.

PT Harum Energy Tbk didirikan pada tahun 1995, dengan portofolio usaha di bidang pertambangan batubara dan kegiatan logistik berlokasi di Kalimantan Timur, Indonesia. Sebagian besar pendapatan HRUM berasal dari ekspor di mana negara-negara tujuannya berada di Asia Timur seperti China dan Korea Selatan.

Jika dibandingkan dengan para raksasa pertambangan batubara lain seperti BUMI, INDY, dan ADRO; HRUM bisa dibilang tergolong kecil. Target produksi mereka per tahun saja hanya berkisar 3,5-4 juta ton, jumlah yang terasa kerdil jika dibandingkan dengan BUMI yang menargetkan untuk memproduksi batubara hampir 90 juta ton setiap tahunnya.

HRUM sudah bolak balik masuk ke e-book kuartalan yang Big Alpha keluarkan karena dua hal utama, yakni posisi cash HRUM yang cukup besar dan utangnya yang sangat minim.

Berdasarkan kinerja Q2 2020, cash yang dimiliki HRUM saat ini berjumlah Rp3,3 triliun, yakni hampir 50% dari total aset yang dimiliki HRUM.

Dengan posisi cash sebesar itu, maka cash per share (uang kas per lembar saham) HRUM adalah sebesar Rp1.249 per lembar saham, atau sekitar 71% dari harga sahamnya saat ini Rp1.730 per lembar saham (19/10/20).

So, that 71% acts as a margin of safety for the investors.

Bandingkan dengan jumlah utang berbunga yang dimiliki HRUM yang berjumlah Rp8 miliar saja. Kecil sekali, bukan?

Harga saham HRUM saat ini memang sudah naik signifikan selama beberapa bulan terakhir. Di akhir Maret 2020, HRUM pernah turun hampir ke harga Rp1.000 per lembar, saat IHSG babak belur akibat penerapan kebijakan PSBB secara masif yang diterapkan Pemerintah.

Di level harga tersebut, tentu margin of safety yang kita dapat akan lebih besar lagi, mengingat harga sahamnya sudah turun di bawah cash per share yang dimiliki HRUM.

Dan hampir tujuh bulan sesudah itu, HRUM sudah naik hampir 60% ke level harganya saat ini. 

Pertanyaan terbesarnya tentu adalah, kenapa?

Seperti layaknya perusahaan pertambangan batubara lain, HRUM adalah sebuah perusahaan yang bersifat price taker, di mana harga jual yang mereka kenakan kepada pelanggan mengikuti pergerakan harga batubara dunia.

Karakteristik ini melekat kepada perusahaan-perusahaan komoditas di mana harga produk yang mereka hasilkan terombang ambing oleh kurva permintaan dan penawaran secara global. Karakteristik ini tentu berbeda dengan perusahaan consumer goods seperti UNVR, di mana mereka dengan bebas bisa menentukan harga jual produk yang mereka hasilkan (seperti shampo atau deterjen) kepada masyarakat. 

Oleh karena itu, kinerja HRUM sebenarnya ikut tertekan mengingat harga acuan batubara dunia yang masih cukup rendah, sekitar US$50 per ton. Level harga yang tidak beda jauh dari tahun 2016 yang lalu.

Per semester I/2020 saja, penjualan HRUM ikut turun 27% dari $139 juta (1H19) menjadi $102 juta (1H20). Efek kumulasi dari rendahnya harga jual, dan pandemi covid-19 yang melanda seluruh dunia. 

Meskipun begitu, secara akuntansi laba HRUM malah naik mengingat mereka juga berhasil menekan beban penjualan dan mencatatkan laba selisih kurs yang cukup signifikan di tahun 2020 ini.

Dan secara bottom line, laba HRUM selama enam bulan pertama malah meningkat sekitar 56% dari periode yang sama di tahun yang lalu.

Meskipun laba HRUM meningkat, namun angka itu tidak bisa dijadikan patokan mutlak mengingat kontribusi utamanya datang dari laba selisih kurs yang bersifat one-time. Oleh karena itu, sebaiknya kita melihat indikator lain yakni cash flow from operation, yang mencerminkan kekuatan utama sebuah perusahaan untuk mendatangkan pundi-pundi uang tunai dari para pelanggannya.

Per semester I/2020, cash flow from operation yang dihasilkan HRUM adalah sebesar $42 juta atau sekitar Rp600 miliar. Dan jika disetahunkan, maka HRUM bisa mendatangkan uang tunai sebesar Rp1,2 triliun dari kegiatan utama perusahaan yakni menjual batubara di kondisi harga jual yang rendah saat ini.

Padahal, di harga Rp1.730 per lembar, market cap HRUM berada di angka Rp4,6 triliun. Sebuah perusahaan dijual di pasar dengan harga Rp4,6 triliun yang bisa menghasilkan cash flow from operation sebesar Rp1,2 triliun per tahunnya.

Namun, ada hal lain yang menarik dari HRUM selain bisnis batubaranya.

Menyadari bahwa selama ini HRUM sangat bergantung kepada batubara, manajemen berusaha mendiversifikasi jenis usahanya ke non-batubara yakni dengan membeli sebagian kepemilikan perusahaan komoditas lain yakni Nickel Mines Ltd.

Nickel Mines Limited, adalah perusahaan publik asal Australia yang bergerak di bisnis tambang yang memproduksi nickel pig iron (NPI), salah satu bahan utama dalam produksi baja tahan karat (stainless steel). 

Nickel Mines memegang kepemilikan 60% di proyek Hengjaya Nickel dan Ranger Nickel, keduanya mengoperasikan pabrik Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang memproduksi NPI di Indonesia Morowali Industrial Park.

Pergerakan harga saham Nickel Mines Ltd. (NIC) secara year to date hingga 19 Oktober 2020.

Memang belakangan, komoditas nikel sedang naik daun akibat kencangnya pembuatan baterai berbasis lithium dimana nikel bertugas sebagai bahan baku utamanya. Apalagi, adopsi tren kendaraan listrik (electric vehicles) diprediksi makin masif ke depannya.

Di sini lah HRUM memutuskan untuk bermain.

Manajemen HRUM mencaplok 79.089.219 lembar saham atau sekitar 3,72% dari total saham Nickel Mines Ltd. Untuk aksi korporasi itu, HRUM merogoh kocek hingga Rp369 miliar atau sekitar AUD34,26 juta.

Manajemen HRUM sendiri berniat untuk menambah kepemilikan di Nickel Mines mengingat pergerakan harga nikel yang masih berada dalam tren positif.

Jadi kesimpulannya, kini HRUM berusaha melepas image mereka dari sebuah perusahaan batubara yang terintegrasi, dengan memperluas lini usahanya ke komoditas yang lain yakni nikel.

Meskipun di core business batubaranya sendiri, HRUM bisa dibilang adalah sebuah perusahaan yang sangat baik dalam menjaga kinerjanya, mengingat level utangnya yang sangat rendah dan cashflow manajemennya yang sangat impresif. Hal ini terbukti dengan menumpuknya cadangan kas yang dimiliki perusahaan.

Ke depannya, menarik untuk menunggu laporan kinerja yang dimiliki HRUM, apalagi dengan kontribusi dari kepemilikan di Nickel Mines. Terlebih lagi jika nanti harga batubara dunia mulai membaik, yang merupakan katalis positif yang ditunggu-tunggu oleh perusahaan-perusahaan batubara di Indonesia.

Gejalanya sih sudah mulai kelihatan, di mana per Q3 2020, ekonomi China sudah pulih dengan pertumbuhan GDP sebesar 4,9%. Dan dengan status sebagai ‘pabrik’ dunia dan konsumen utama batubara dunia, tentu dimulainya aktivitas ekonomi negara tirai bambu ini akan menjadi sentimen positif untuk harga komoditas energi dunia seperti minyak mentah dan batubara.

Kita tunggu saja!