Ketika "Big Caps" Jatuh Hati ke Perusahaan Digital

Date:

[Waktu baca: 6 menit]

Sejumlah perusahaan publik yang kapitalisasi pasarnya merupakan yang terbesar di Indonesia (big caps) terpikat untuk berinvestasi di perusahaan digital yang dulunya merupakan perusahaan rintisan atau startup.

Perusahaan itu antara lain Astra International (ASII), Telkom Indonesia (TLKM), Bank Mandiri (BMRI), Bank Rakyat Indonesia (BBRI) dan sebagainya. Mereka yang merupakan langganan penghuni 10 besar perusahaan berkapitalisasi pasar terbesar di Indonesia itu menanamkan uang di sejumlah perusahaan berbasis teknologi yang kini mendapatkan predikat unicorn bahkan decacorn.

Mengapa mereka melakukan hal tersebut? Bagaimana investasi akan menguntungkan para emiten kakap ini? Mari kita ulas.

Astra yang Memperluas Portofolio

Astra International selama ini dikenal sebagai konglomerasi yang mengandalkan bisnis otomotif sebagai salah satu sumber pendapatan utamanya. Porsinya hampir separuh sebagai kontributor pendapatan Astra.

Selain otomotif, lini bisnis lain yang dikelola Astra adalah jasa keuangan, alat pertambangan, konstruksi & energi, agribisnis, infrastruktur dan logistik, teknologi informasi, dan properti. Menilik berbagai portofolionya tersebut, Astra bukanlah konglomerasi yang terpaku kepada suatu lini bisnis tertentu seperti otomotif.

Astra membuka diri atas berbagai kemungkinan, termasuk investasi di perusahaan berbasis teknologi yang kini semakin berkembang di Indonesia. Dalam tiga tahun terakhir, Astra memutuskan untuk menyuntikkan modal kepada tiga perusahaan teknologi dengan layanan yang berbeda: Gojek, HaloDoc dan SayurBox.

Dari tiga perusahaan itu, investasi paling besar dibenamkan oleh Astra kepada Aplikasi Karya Anak Bangsa atau Gojek senilai Rp13,5 triliun. Dalam laporan keuangan Astra terbaru per 31 Maret 2021, investasi Gojek dikategorikan sebagai "investasi lain-lain", bukan investasi ventura bersama atau investasi asosiasi.

Selain Gojek, Astra berinvestasi di perusahaan rintisan Sayurbox dan Halodoc masing-masing senilai US$5 juta (Rp72 miliar) dan US$35 juta (Rp500 miliar) pada Maret dan April 2021. Sayurbox adalah e-commerce grocery farm-to-table platform dan distributor of fresh goods, sedangkan Halodoc merupakan platform kesehatan berbasis online. 

Mengapa berinvestasi di berbagai perusahaan digital tersebut? Singkat kata, Astra tertarik terjun lebih dalam ke bisnis digital. 

Manajemen Astra berpandangan bahwa pengembangan bisnis digital menjadi sangat relevan untuk diakselerasi. Pandangan itu disampaikan oleh Djony Bunarto Tjondro, Presiden Direktur Astra, dalam Laporan Tahunan Astra 2020.

Menurutnya, Grup Astra telah memanfaatkan teknologi digital dalam berbagai proses dan bentuk, termasuk konektivitas dengan rantai nilai, dukungan proses back office dan front office hingga penawaran produk digital dan aplikasi yang akan terus dikembangkan untuk meningkatkan pelayanan kepada pelanggan.

Pada saat ini, Astra telah memiliki berbagai bisnis digital kendati kontribusinya terhadap pendapatan belum besar. Namun, Astra telah mempersiapkan diri menjalani masa depan yang digadang-gadang akan penuh dengan proses digitalisasi.

Di bidang digital, Astra telah memiliki Astra Digital International (jasa otomotif), Astra WeLab Digital Arta (mobile lending fintech), Astra Graphia
Information Technology (layanan teknologi) dan sebagainya. Astra telah mengelola berbagai aplikasi pada saat ini seperti Seva.id (layanan jual beli kendaraan), CariParkir (aplikasi pencarian lokasi parkir kendaraan), Movic (aplikasi rental mobil) dan sebagainya.

Dengan Gojek sendiri, Astra mengembangkan GoFleet, sebuah program sewa mobil resmi yang diselenggarakan oleh Gojek dan Astra. Layanan Gofleet meliputi penyediaan kendaraan, perlindungan asuransi, layanan perbaikan, perawatan dan monetisasi kendaraan melalui pemasangan iklan.

Masuknya Astra ke bisnis digital dapat dipahami sebagai suatu upaya mencari sumber pertumbuhan baru serta mempersiapkan diri atau mengantisipasi berbagai kemungkinan di masa depan, termasuk pelemahan bisnis otomotif atau lini bisnis lainnya. Seperti diketahui, bisnis otomotif berkembang seiring pertumbuhan ekonomi.

Saat pertumbuhan ekonomi terkontraksi, bisnis otomotif akan ikut lesu. Hal itu terbukti ketika pandemi virus corona menyebar di Indonesia yang berdampak signifikan terhadap ekonomi Indonesia. Pada saat resesi, penjualan mobil Astra turun hampir 50 persen!

Investasi Telkomsel di Gojek

Kendati memiliki aset yang luar biasa besar dan efek ekonomi yang tidak bisa dibilang kecil, BUMN terkesan cenderung konservatif dalam pengembangan bisnis digitalnya. Tentu saja, tidak semua BUMN bersikap demikian, salah satunya adalah Telkom Indonesia (TLKM).

Melalui anak usahanya, Telkomsel, TLKM memutuskan berinvestasi sekitar Rp6,3 triliun, angka yang tentu saja tidak kecil. Dalam Laporan Tahunan 2020, manajemen Telkom menjelaskan bahwa kolaborasi keduanya dapat memberikan layanan dan solusi yang lebih baik dalam membangun ekosistem digital. 

Dengan kolaborasi itu, Telkomsel diharapkan dapat membuka nilai sinergi bagi kedua belah pihak terutama melalui integrasi platform-apps, diversifikasi
penawaran produk, meningkatkan trafik dan pendapatan data, memperluas pangsa pasar dan mengurangi churn pelanggan. 

Salah satu contoh sederhana potensi keuntungan yang diincar Telkomsel adalah penjualan paket data kepada mitra pengendara ojek atau taksi online di Gojek. Seperti diketahui, Gojek bermitra dengan 2 juta driver di seluruh Asia Tenggara dimana sebagian besar berlokasi di Indonesia. Penjualan paket data tersebut sudah dan akan terus dilakukan oleh Telkomsel.

Belum lagi mengenai potensi penjualan produk Telkomsel melalui superapp Gojek yang telah diunduh lebih dari 190 juta kali. Bisa dibayangkan berapa potensi keuntungan yang hendak "dicuil" oleh Telkomsel dari investasi di Gojek tersebut.

Bank BUMN di Bukalapak

Investasi emiten berkapitalisasi pasar besar di perusahaan teknologi juga sebenarnya melibatkan dua bank BUMN raksasa Indonesia yaitu Bank Mandiri dan Bank Rakyat Indonesia. Investasi itu tidak dilakukan secara langsung melainkan melalui anak usaha yang bergerak di bidang modal ventura yaitu masing-masing Mandiri Capital Indonesia dan BRI Ventura.

Kendati demikian, investasi perusahaan modal ventura di Bukalapak itu relatif tertutup dibandingkan dengan investasi Astra dan Telkom di Gojek. Sejauh ini tidak diketahui secara pasti berapa nilai investasi yang dibenamkan kedua belah pihak di marketplace tersebut.

Investasi tersebut dilakukan bersama dengan para investor lainnya seperti Microsoft dan Standard Chartered. Kendati demikian, dalam berbagai pernyataan di media, investasi dilakukan karena Bukalapak memiliki ekosistem yang diramaikan oleh belasan juta usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Bukalapak disebut-sebut memiliki lebih dari 13,5 juta mitra usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) dalam ekosistem pedagang online dan offline. Bagi bank, jutaan mitra itu merupakan pasar potensial bagi penyaluran kredit--- salah satu bisnis utama bank.

Suatu data yang pernah dirilis oleh Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), lebih dari 70 persen UMKM di Indonesia belum mendapatkan akses pembiyaan dari bank. Potensi itu yang barangkali juga menjadi salah satu pertimbangkan kolaborasi dengan Bukalapak yang memiliki jaringan kuat dengan UMKM.

Ilustrasi oleh Azka Destriawan

Hasil Investasi di Masa Depan

Pada dasarnya, kegiatan investasi bertujuan mengharapkan hasil investasi, termasuk yang dilakukan oleh korporasi besar. Investasi di perusahaan teknologi yang dilakukan belakangan ini bukan yang pertama dan terakhir bagi mereka.

Terlalu dini untuk melihat seberapa besar bagian hasil investasi lain-lain dalam laporan keuangan berbagai perusahaan berkapitalisasi pasar besar tersebut pada saat ini atau setidaknya dalam laporan keuangan terbaru per kuartal I/2021. Sebagian investasi itu baru dilakukan pada 2020 dan 2021 ini.

Dalam laporan keuangan Astra International per kuartal I/2021, misalnya, tentu saja belum ada pos "bagian atas hasil bersih investasi lain-lain" dalam Laporan Laba Rugi. Astra baru mencatatkan bagian atas hasil bersih investasi ventura bersama atau asosiasi.

Namun, melihat potensi pertumbuhan ekonomi digital di masa depan yang ditaksir sebuah riset dapat mencapai US$124 miliar pada 2025 atau naik hampir tiga kali lipat dibandingkan dengan US$44 miliar pada 2020, "benih" yang ditanam oleh para raksasa itu bukan hanya dapat berbuah manis, tapi juga menjadi revenue generator penting di masa depan.

Sekitar satu dekade yang lalu, tidak banyak yang membayangkan jika Gojek, Tokopedia dan berbagai perusahaan yang kini dikategorikan sebagai unicorn atau decacorn bakal menjadi begitu besar di masa depan. Melihat kisah sukses tersebut, berbagai perusahaan raksasa seperti Astra, Telkom dan sebagainya tampaknya tidak ingin melewatkan kesempatan emas yang barangkali tidak akan terulang 5 atau 10 tahun mendatang.