Komitmen Energi Hijau Global dan Pertanyaan Besar Masa Depan Batu Bara

Date:

Harga batu bara saat ini tengah melesat menjadi sangat tinggi dan membangkitkan euforia di kalangan investor sehingga saham emiten-emiten di sektor ini banyak diburu. Tampaknya, investor saat ini pun tengah beramai-ramai mengalihkan investasinya dari sektor lain ke sektor batu bara.

Pasar menyaksikan fenomena turunnya harga saham-saham sektor teknologi yang selama ini banyak diburu, sedangkan saham-saham sektor tambang batu bara dan pendukungnya justru melesat.

Namun, seberapa besar pun euforia di sektor batu bara, investor tidak dapat menafikan kenyataan bahwa batu bara bukanlah bisnis yang berkelanjutan. Apalagi, banyak negara di dunia sudah menyatakan komitmen untuk mengurangi konsumsi batu bara dalam beberapa dekade ke depan.

Oleh karena itu, menarik untuk mencermati perkembangan terkini komitmen global untuk beralih ke energi hijau dan implikasinya terhadap prospek bisnis batu bara ini, terutama bisnis batu bara di Indonesia.

Bagaimanapun, hingga kini batu bara masih menjadi komoditas unggulan Indonesia, sehingga hal ini turut mengancam perekonomian Tanah Air. Lantas, bagaimana strategi Indonesia untuk mengimbangi antara komitmen terhadap energi hijau dengan risiko penurunan devisa ekspor batu bara?

Kampanye untuk meninggalkan batu bara tidak terlepas dari Paris Agreement yang telah diratifikasi banyak negara. Kesepakatan Paris tersebut isinya adalah komitmen masyarakat global untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) yang memicu pemanasan global.

Batu bara merupakan salah satu biang keladi naiknya emisi GRK ini sehingga meningkatkan suhu global dan menyulut terjadinya perubahan iklim.

Alhasil, kini makin sering terjadi iklim ekstrim yang memicu munculnya bencana alam, mulai dari banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, hingga gelombang pasang. Bencana-bencana ini memicu kerugian ekonomi yang besar di samping tentu saja korban jiwa.

Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement pada 2015 lalu. Indonesia kini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK hingga 2030 sebesar 29% dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan internasional. Salah satu upaya mitigasi dan adaptasi Indonesia adalah di sektor energi.

Indonesia menargetkan bauran energi baru terbarukan bisa mencapai 23% pada 2025 nanti. Meskipun demikian, pada kenyataannya tantangannya besar bagi Indonesia untuk mewujudkan komitmen itu.

Berdasarkan data Dewan Energi Nasional, pada 2018 kapasitas pembangkit listrik di Indonesia mencapai 64,5 GW, yang mana 56,4% di antaranya dari pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Padahal, Indonesia memiliki potensi sumber energi dari energi baru terbarukan (EBT) hingga 417,8 GW. Total pemanfaatan EBT di Indonesia baru 10,4 GW atau 2,5% dari potensinya.

Tantangan utama pengembangan EBT tentu saja adalah biaya investasinya yang mahal. Hal ini berpotensi memicu harga listrik yang lebih tinggi. Di sisi lain, cadangan batu bara Indonesia akan menjadi idle dan mengurangi potensi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi negara.

 

Strategi Indonesia

Bagaimana pun, Indonesia tetap berkepentingan untuk memasarkan batu baranya. Namun, di sisi lain, Indonesia juga sudah mengalami dampak buruk akibat perubahan iklim berupa bencana-bencana alam besar akhir-akhir ini. Oleh karena itu, Indonesia perlu mencari titik keseimbangannya.

Seiring dengan komitmen global untuk mengurangi GRK, pemasaran batu bara diperkirakan akan turun drastis dalam 20 tahun ke depan. Sementara itu, cadangan batu bara Indonesia saat ini mencapai 38,84 miliar ton.

Dengan estimasi rata-rata produksi batu bara nasional selama ini 600 juta ton per tahun, total cadangan itu akan cukup untuk produksi selama 65 tahun, itu pun dengan catatan tidak ada temuan cadangan baru. Jika ada, tentu umur cadangan akan lebih panjang lagi.

Terlepas dari pro dan kontra seputar aktivitas tambang batu bara, cadangan sebesar itu tentu memiliki potensi ekonomi yang besar. Oleh karena itu, solusi terbaiknya tentu bukanlah mengabaikannya, melainkan mencari cara lain pemanfaatan batu bara yang lebih ramah lingkungan.

Bahan bakar fosil berkontribusi cukup besar terhadap PDB Indonesia, yakni sekitar 8,4%. Energi fosil juga lebih murah dan kompetitif bagi pengusaha untuk menjalankan bisnisnya. Sehingga tidak mengherankan jika ketergantungan pada batu bara sulit dilepaskan.

Kebijakan EBT di Indonesia, terutama terkait industri batu bara, pada akhirnya harus mengarah pada strategi penggunaan teknologi yang tepat sehingga menghasilkan produk olahan batu bara yang lebih bersih dan berkurang emisinya. Dengan kata lain, hilirisasi batu bara.

Proyek hilirisasi ini sudah dimulai dan ini menjadi kabar baik. Salah satu proyek hilirisasi yang tengah digencarkan yakni gasifikasi batu bara atau mengubah batu bara berkalori rendah menjadi dimethyl ether (DME).

Produk DME bisa digunakan untuk substitusi liquefied petroleum gas (LPG) yang selama ini masih didominasi oleh produk impor. Hal ini bakal memberikan keuntungan ganda bagi Indonesia, yakni jaminan konsumsi batu bara yang berkelanjutan dan penurunan ketergantungan impor.

Proyek ini akan membantu mengimbangi penurunan konsumsi batu bara yang akan terjadi di proyek PLTU. Menyadari bahwa PLTU bakal ditinggalkan, banyak investor akhirnya tidak lagi berminat untuk melanjutkan investasi di bidang PLTU.

Banyak negara, termasuk G7 sudah berkomitmen untuk tidak lagi berinvestasi di PLTU. Demikian juga banyak korporasi multinasional, seperti GE, Siemens, Toshiba, dan Mitsui, telah menyatakan akan mundur dari proyek PLTU baru bara dan beralih ke proyek EBT.

Meski begitu, PLTU yang ada sekarang masih memiliki umur produksi yang panjang sehingga masih akan menjamin permintaan terhadap batu bara. Tantangannya adalah jika PLTU yang sudah berumur akhirnya berhenti berproduksi tanpa ada peremajaan.

Akan tetapi, tampaknya perkembangan teknologi akan mengarah pada pengolahan batu bara yang lebih canggih sehingga menghasilkan emisi yang lebih rendah di PLTU. Hanya saja, investasinya tentu lebih tinggi.

Sesuai dengan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) dan Kebijakan Energi Nasional (KEN), kontribusi energi batu bara hingga 2050 nanti sejatinya diharapkan masih akan tersisa 25%. Selebihnya akan mengandalkan EBT.

Di satu sisi, ini jelas penurunan besar bagi konsumsi batu bara. Namun, di sisi lain, hal ini juga menjadi sinyal bahwa batu bara belum akan sepenuhnya ditinggalkan setidaknya dalam 30 tahun ke depan. Lagi pula, jangan lupa bahwa tingkat konsumsi energi nasional saat itu pun sudah akan jauh lebih tinggi.

Artinya, meski bauran energi batu bara turun menjadi 25%, tingkat konsumsinya justru boleh jadi lebih tinggi. Berdasarkan hitungan Kementerian ESDM, pasokan energi primer batu bara pada 2025 diestimasi masih sebesar 30% yakni 119,8 juta ton setara minyak (MTOE) atau setara 205,3 juta ton.

Pada 2050, bauran energi batu bara akan turun menjadi 25,3%, tetapi kontribusi energinya mencapai 255,9 MTOE atau setara volume sebesar 438,8 juta ton. Dengan kata lain, ketergantungan terhadap batu bara tetap akan tinggi.

Namun, agar tidak menyalahi komitmen pengurangan emisi GRK, skenarionya adalah menggunakan batu bara yang telah melalui proses hilirisasi menjadi DME, methanol, atau produk bahan kimia lainnya. Dengan demikian, batu bara tetap menjadi energi primer dan cadangan yang ada dapat dioptimalkan.

Sementara itu, Indonesia juga belum cukup mandiri untuk dapat mengembangkan pembangkit listrik EBT sendiri. Selain investasinya tinggi dengan teknologi yang belum dikuasai di dalam negeri, tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) juga masih akan sangat rendah.

Dalam hal ini Indonesia relatif lebih terlambat dibandingkan dengan banyak negara lain dalam perjalanan transformasi menuju EBT ini, sehingga ketergantungan terhadap batu bara tidak akan lekas pudar.

Untuk mendukung transformasi ini, Indonesia bakal sangat tergantung pada dukungan internasional. Belum lagi, persoalan buruh atau tenaga kerja PLTU yang terancam kehilangan pekerjaan akibat pengurangan PLTU. Untuk itu, dibutuhkan kebijakan yang benar-benar dipersiapkan matang.

Hingga kini, DPR RI juga belum mengesahkan Rancangan Undang-undang Energi Baru Terbarukan (RUU RBT) sehingga peta jalan bagi transformasi menuju EBT ini terlihat belum cukup meyakinkan.

 

Komitmen Global Tinggalkan Batu Bara

Salah satu tantangan serius bagi masa depan batu bara adalah komitmen negara-negara besar untuk menghentikan investasi di proyek PLTU batu bara. China, misalnya, sudah menyatakan akan menghentikan pembangunan PLTU batu bara di luar negeri.

Menurut Global Energy Monitor (GEM), hal ini diperkirakan dapat menghentikan komitmen investasi global senilai US$50 miliar pada 44 PLTU yang dibiayai oleh lembaga keuangan asal China. Penghentian proyek itu bakal mengurangi emisi karbon sebesar 200 juta ton per tahun di masa depan.

Adapun, Beijing saat ini merupakan sumber pembiayaan terbesar untuk proyek PLTU di banyak negara di dunia. Pengumuman itu bakal berdampak luas pada negara-negara seperti Bangladesh, Pakistan, Vietnam, Afrika Selatan, Zimbabwe, Serbia, Uni Emirat Arab, dan tentu saja Indonesia.

Presiden Xi juga berjanji untuk mengendalikan dengan ketat kapasitas energi batu bara domestik baru selama periode 2021-2025 sehingga tingkat konsumsi batu bara di China akan terus menurun hingga 2026.

Kendati demikian, Presiden China Xi Jinping juga mengatakan China akan membantu negara-negara berkembang membangun produksi energi hijau. Hal itu disampaikannya dalam pidato di Majelis Umum PBB pada Selasa (21/9). Ini tentu membuka keran investasi lainnya sebagai penggantinya.

Langkah China menghentikan investasi PLTU ini sejatinya sudah lebih dahulu ditempuh oleh Jepang dan Korea Selatan. Komitmen itu diambil merespons janji Presiden AS Joe Biden untuk menggandakan belanja negara menjadi US$11,4 miliar pada 2024 untuk membantu negara-negara berkembang menangani perubahan iklim.

Adapun, Inggris juga menegaskan komitmennya sebagai negara yang akan memimpin gerakan global dalam mempercepat transisi energi fosil ke energi hijau. Inggris sudah menghentikan dukungan dana pada proyek energi berbahan bakar fosil di luar negeri sejak awal tahun ini.

Menteri Energi dan Perubahan Iklim Inggris, Anne-Marie Trevelyan, mengumumkan pada akhir Juni 2021 lalu bahwa mulai 1 Oktober 2024, Inggris tidak akan lagi menggunakan batubara sebagai sumber energi listriknya. Langkah ini satu tahun lebih cepat dari rencana awal.

Pemerintah Inggris akan mengeluarkan undang-undang baru berkenaan dengan hal ini sesegera mungkin. Pemerintah Inggris juga telah membentuk Dewan Transisi Energi (Energy Transition Council) untuk merangkul negara sahabat menuju transisi dari energi fosil ke energi bersih.

Adapun, pada 2020 lalu batu bara hanya mengisi 1,8% dari total bauran pembangkit listrik Inggris, jauh berkurang dibanding satu dekade lalu yang masih 40%. Pada awal tahun ini, Inggris mencetak rekor baru dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga angin. Kini, lebih dari sepertiga energi Inggris ditopang oleh energi angin.

Dengan kesuksesan itu, Inggris membuktikan pada dunia bahwa transisi cepat di sektor ketenagalistrikan dari batu bara menuju EBT sangat mungkin untuk dilakukan.

Selain Inggris, negara anggota G7 lainnya yakni Prancis, Kanada, Jerman, dan Italia juga sudah memiliki target yang jelas untuk penghentian penggunaan bahan bakar fosil mereka. Prancis berencana untuk menghentikan listrik batu bara sepenuhnya pada 2022, sedangkan Italia dan Jerman menargetkan untuk melakukannya masing-masing pada tahun 2025 dan 2038.

Hal ini menambah tekanan untuk dua negara G7 lainnya yakni AS dan Jepang yang hingga kini masih menggunakan batu bara sebagai energi utama mereka dan belum menentukan dengan tegas target penghentian total penggunaan batu bara.

Komitmen AS terkendala oleh faktor politis, terutama dari daerah-daerah yang secara ekonomi bergantung pada batu bara. Sementara itu, Jepang memiliki keterbatasan area yang dapat digunakan untuk pengembangan sumber energi alternatif, sedangkan sebagian besar reaktor nuklirnya masih menganggur setelah bencana Fukushima 2011.

 

Menuju Akhir Prospek Cerah Batu Bara

Komitmen negara-negara besar tersebut tentu saja tidak main-main. Hal ini memberikan ancaman serius bagi masa depan batu bara. Bagi Indonesia, kuncinya adalah mempercepat hilirisasi batu bara agar potensinya yang berlimpah tidak terbuang percuma.

Jika upaya hilirisasi sukses, konsumsi batu bara di masa depan dapat diharapkan tetap akan terjamin tanpa mencederai komitmen memerangi pemanasan global. Hanya saja, untuk itu Indonesia harus siap dengan investasi skala besar.

Sebagai gambaran, untuk substitusi 1 juta ton LPG, dibutuhkan sekitar 1,4 juta ton DME. Untuk membangun proyek DME dengan kapasitas 1,4 juta ton, dibutuhkan investasi senilai kurang lebih US$2,1 miliar atau setara Rp29,4 triliun.

Saat ini, kebutuhan energi LPG Indonesia sekitar 8,8 juta ton per tahun, yang mana 6,8 juta ton di antaranya dipenuhi dari impor. Ini tentu menjadi potensi yang dapat dipenuhi oleh proyek hilirisasi batu bara.

Upaya ini tentu saja dapat menyelamatkan industri batu bara kita. Namun, sebagai bagian dari komunitas global, kinerja harga batu bara tentu saja akan sangat dipengaruhi oleh aktivitas di pasar global. Jika permintaan terhadap batu bara secara global terus berkurang, sudah tentu harganya bakal turun.

Kondisi ini menjadikan bisnis batu bara terasa suram prospeknya. Mungkin saja untuk beberapa tahun ke depan komoditas ini masih dihargai dengan nilai yang tinggi, tetapi dengan adanya kepastian pengurangan konsumsi di masa mendatang, tampaknya sulit untuk berharap harganya akan tetap tinggi.