Rupiah Melemah, Apa Efeknya Untuk Investor Saham?

Date:

Tahun 2018 sudah memasukin kuarter terakhirnya, namun sepertinya badai yang menghantui IHSG belum juga mereda. Tekanan demi tekanan belum juga berakhir menghambat kinerja bursa kita hingga saat ini. Selentingan-selentingan krisis pun mulai banyak beredar, yang semakin menambah pesimisme para pelaku pasar.

Tentu saja, sentimen terkuat saat ini adalah pelemahan Rupiah.

Pertanyaan yang sering ditanyakan orang awam adalah: sebenarnya kenapa sih Rupiah melemah? Apakah negara ini sudah salah kelola? Dan bagaimana dampak pelemahan Rupiah ini ke kehidupan kita sehari-hari?

Untuk tau akar permasalahannya, kita harus kembali ke tahun 2008. Ketika krisis ekonomi global 2008 terjadi, Amerika Serikat memangkas habis tingkat suku bunganya menjadi 0%. Tujuannya, agar warga negara Amerika berani kembali meminjam uang ke bank, untuk membeli barang, menyicil rumah, atau kembali membuka usaha.

Semua ini tentu bertujuan untuk menjadi stimulus bagi perekonomian US yang saat itu sedang sekarat. Bayangkan, waktu itu meminjam uang ke bank di US hampir tidak ada biayanya.

Tapi di sisi lain, hal ini menjadi tidak menarik untuk investor, karena return yang ditawarkan kecil sekali. Tingkat suku bunga tentu akan mempengaruhi tingkat imbal hasil (yield) yang ditawarkan pemerintah US. Oleh karena itu, investor mulai berpaling ke negara-negara berkembang (termasuk Indonesia) yang menawarkan tingkat imbal hasil yang lebih tinggi.

Seiring waktu, ekonomi Amerika Serikat pun semakin membaik. Lapangan kerja terbentuk, rekor demi rekor di bursa mereka mulai tercipta, dan semuanya mulai kembali seperti biasa. Agar tidak overheating, bank sentral Amerika Serikat (The Fed) pun mulai berencana untuk menaikkan tingkat suku bunga mereka secara bertahap. Hal ini berdampak dengan naiknya imbal hasil dari surat-surat berharga milik pemerintah Amerika Serikat.

Peristiwa ini pun akhirnya kembali menarik minat investor. Jika imbal hasil yang ditawarkan Amerika Serikat, yang notabene adalah negara maju, lebih menarik kenapa harus mengambil risiko untuk berinvestasi di negara berkembang?

Hal ini lalu diperparah dengan krisis ekonomi yang terjadi di Turki dan Argentina (contoh emerging markets selain Indonesia). Krisis yang terjadi di sana meruntuhkan rasa percaya diri investor untuk berinvestasi di negara-negara berkembang. Ditakutkan, krisis di Turki dan Argentina akan menjalar ke negara-negara berkembang lainnya.

Akhirnya, para investor global mulai menarik dana mereka dari pasar negara-negara berkembang untuk membeli surat surat berharga di US. Supply dolar yang awalnya tersedia banyak, kini mulai jarang. Dan ketika supply berkurang, harga akan naik. Simple macroeconomics.

Akhirnya, dolar pulang kampung dan membuat harganya terhadap Rupiah menjadi mahal.

Lalu kenapa Rupiah menjadi mata uang yang terpukul paling hebat?

Indonesia adalah salah satu dari beberapa negara di Asia yang mengalami Current Account Deficit (CAD) atau defisit neraca berjalan. Secara sederhana, CAD adalah kondisi dimana impor lebih besar dari ekspor.

Kebutuhan kita terhadap dolar, lebih besar dari kemampuan kita dalam menghasilkan dolar. Istilahnya ‘lebih besar pasak daripada tiang’.

Kondisi defisit ini sudah berlangsung dari dulu, tapi belakangan defisit ini semakin melebar seiring dengan meningkatnya kebutuhan impor Indonesia.

Defisit seperti ini membuat Rupiah menjadi sangat rentan terdahap keluar masuknya dana asing. Apalagi investor asing memegang hampir 40% dari total surat berharga yang dikeluarkan negara, membuat kita sebagai salah satu yang tertinggi di Asia untuk hal ini.

Jadi ketika dana asing ini keluar dari pasar Indonesia, efeknya akan sangat terasa. Apalagi Indonesia membutuhkan dana asing karena Indonesia juga dalam kondisi budget deficit, yang artinya pemerintah tetap membutuhkan pinjaman untuk membiayai APBN.

Efeknya terhadap Rupiah sejauh ini apa?

Well, saat ini Rupiah adalah mata uang dengan performa terburuk kedua di Asia setelah Rupee India. Bahkan, nilai tukar nominal ini sudah hampir mencapai level yang sama pada saat krisis moneter 1998.

Tapi kondisinya sedikit berbeda.

Jika dilihat dari awal tahun (year to date), Rupiah sudah melemah sekitar 12% dari Rp13.500an ke atas level Rp15.200an. Berbeda dengan 1998 dimana Rupiah terjun bebas dari Rp2ribuan ke Rp15ribuan hanya dalam waktu yang relatif lebih singkat.

Hal ini juga merembet ke pasar modal Indonesia. Rupiah yang sudah melemah sekitar 12% menyeret serta pergerakan IHSG. Year to date, IHSG sudah melemah sekitar 10%.

Logikanya sebenarnya sederhana, jika pelemahan Rupiah terus berlanjut, return investor asing dalam Dolar juga akan semakin menyusut. Akibatnya mereka memilih memindahkan dananya dari bursa kita. Hal ini juga membuat takut investor lokal yang akhirnya ikut-ikutan menarik dananya.

Efeknya berantai. IHSG akan tetap tidak bertenaga, seiring dengan sentimen melemahnya Rupiah.

Lalu Pemerintah dan BI sudah melakukan apa saja untuk memperkuat Rupiah?

Saat ini, BI sudah beberapa kali menaikkan tingkat suku bunga dalam negeri. Dengan menaikkan suku bunga, imbal hasil yang ditawarkan surat berharga pemerintah pun akan naik. Ini menjadi sentimen bagi investor asing untuk kembali menanamkan uangnya di dalam negeri.

BI juga sudah menguras cadangan devisa yang digunakan untuk membeli kembali surat-surat berharga milik pemerintah. Tujuannya untuk memperbanyak supply dolar di pasar.

Di sisi lain, Pemerintah juga sudah jor-joran memperjuangkan Rupiah.  Arus impor berusaha ditahan agar tidak terlalu kencang, dengan memberlakukan bea impor. Ada pembatasan impor yang ditetapkan Pemerintah terhadap barang-barang tertentu.

Kuota produksi batubara nasional juga ditambah 100 juta metric ton, yang bertujuan agar ekspor batubara melaju kencang, mengingat harga jual komoditas unggulan Indonesia ini sedang bagus di pasaran. Tujuannya agar stock dolar bertambah dari hasil penjualan batubara.

Kebijakan bebas visa diberlakukan untuk wisatawan luar negeri dari berbagai negara, agar mereka berkunjung dan menghabiskan dolar mereka di Indonesia. Pemerintah juga sudah mengeluarkan peraturan biodiesel (B20) yang intinya mencampur bbm yang kita konsumsi dengan minyak sawit agar impor bbm tidak terlalu kencang.

Lalu dampak ke investor saham apa?

Selama sentimen Rupiah melemah makin kencang, maka IHSG terus akan mengalami fluktuasi seperti yang terjadi beberapa bulan ke belakang. Portfolio anda kemungkinan besar dalam kondisi memerah seperti layaknya mayoritas saham di bursa sejak awal tahun.

Jika anda sudah masuk ke pasar, tetaplah tenang dan yakin bahwa saham yang anda pegang tetap berkualitas dan akan naik secara jangka panjang. Jangan terpengaruh emosi jangka pendek untuk memutuskan investasi jangka panjang. Jika anda punya dana cadangan, silakan lakukan averaging down untuk saham-saham pegangan anda.

Kondisi IHSG yang turun dalam seperti ini tidak terjadi tiap tahun. Terakhir, terjadi massive selling seperti ini adalah tahun 2015, dan lalu dilanjutkan dengan rally selama tahun 2016 dan 2017. Sejarah IHSG yang selalu mencatatkan kinerja positif selama tahun politik pun menjadi semacam angin segar untuk pemilu tahun depan.

IHSG yang rontok dan terjun bebas seperti ini, menawarkan peluang masuk untuk investor jangka panjang. Kami di BigAlpha sendiri sudah melakukannya. Kami membeli ketika yang lain menjual. Saham-saham bluechips yang sudah turun 20-30% dari tingkat tertingginya tersedia banyak untuk anda koleksi dan dijadikan ke dalam portfolio.

Tetap rasional, dan percayalah..badai pasti berlalu.