Ujian Berat Bagi Daya Tahan Blue Bird (BIRD)

Date:

Dalam sejarah panjangnya sejak 1965, PT Blue Bird Tbk. telah melewati banyak tantangan dan berhasil menempatkan diri sebagai salah satu perusahaan transportasi yang paling sukses  di Tanah Air. Kini, perusahaan milik keluarga Djokosoetono ini harus kembali membuktikan kekuatannya.

Emiten dengan kode saham BIRD ini memang terbukti telah menjadi salah satu emiten yang paling tahan banting menghadapi berbagai tekanan di industrinya. Emiten ini juga terbukti mampu beradaptasi dengan cepat dan menyelamatkan diri dari risiko kejatuhan bisnis yang parah.

Kita tentu tidak lupa bahwa bisnis taksi adalah salah satu bisnis yang paling terdampak oleh disrupsi yang dihadirkan oleh aplikasi ride hailing seperti Gojek dan Grab. Emiten ini bergerak tangkas dengan segera bermitra dengan Gojek dan bahkan untuk itu mengubah sistem tarifnya.

Jika dulunya tarif taksi BIRD menggunakan sistem argometer, BIRD akhirnya mulai beradaptasi dengan memberikan tarif pasti seperti yang berlaku di Gojek. Meski begitu, BIRD juga tidak sepenuhnya bergantung pada aplikasi Gojek untuk mendapatkan penumpang.

BIRD juga mengembangkan aplikasinya sendiri yakni Mybluebird dan menawarkan berbagai inovasi layanan di dalamnya. Dengan berbagai strategi itu, BIRD masih mampu bertahan dan memenuhi semua kewajiban keuangannya dengan cukup baik.

Bandingkan misalnya dengan emiten pesaingnya seperti PT Express Transindo Utama Tbk. (TAXI) yang mengoperasikan Taksi Ekspress. Tantangan yang dihadirkan oleh perusahaan ride hailing telah menekan secara signifikan kinerja perusahaan ini hingga kini terus merugi, terlilit utang, dan terancam bangkrut.

Meski tangkas, BIRD pada akhirnya tetap harus menelan pil pahit penurunan kinerja yang cukup dalam, terutama selama beberapa tahun terakhir sejak layanan Gojek dan Grab meroket di Tanah Air. Namun, tidak seperti TAXI, BIRD masih mampu tetap untung.

Sayangnya, belum habis dengan tantangan disrupsi yang dihadirkan oleh Gojek dan Grab, kini tantangan baru hadir lagi untuk bisnis taksi. Sejak pandemi melanda Indonesia tahun lalu, pemerintah berkali-kali memberlakukan pembatasan mobilitas masyarakat.

Alhasil, bisnis yang paling terdampak tentu saja bisnis transportasi. BIRD pun akhirnya harus menyerah di sini dan menderita rugi. Jika menilik kinerja keuangan BIRD sejak 2020 lalu, terlihat bahwa emiten ini akhirnya menderita kerugian sejak kuartal kedua 2020 hingga kuartal kedua tahun ini.

Namun, menariknya, tren kerugiannya terus mengecil. Berdasarkan data RTI, rugi per saham BIRD mencapai Rp43 pada kuartal II/2020, lalu berturut-turut turun menjadi Rp25 dan Rp2 pada dua kuartal selanjutnya sepanjang 2020.

Pada kuartal I/2021, rugi per saham BIRD mencapai Rp11, sedangkan pada kuartal II/2021 tinggal Rp1. Lagi-lagi, BIRD menunjukkan ketangkasannya untuk pulih dengan cepat.

Dengan perkembangan yang terus membaik ini menunjukkan adanya harapan bagi pemulihan kinerja BIRD dalam waktu dekat. Kini kuartal ketiga tahun ini sudah berakhir dan kita tinggal menunggu hasil kinerja perusahaan pada kuartal tersebut.

Sayangnya, kuartal ketiga tahun ini juga ditandai oleh pengetatan pembatasan mobilitas akibat gelombang kedua pandemi. Oleh karena itu, rugi BIRD kemungkinan kembali membengkak. Meski begitu, selama ini BIRD sudah melakukan sejumlah terobosan, sehingga ada harapan tekanannya tidak begitu besar.

Di sisi lain, pelonggaran pembatasan mobilitas yang kini mulai berlaku serta prospek pemulihan ekonomi yang lebih cerah berpotensi segera membangkitkan lagi kinerja BIRD. Oleh karena itu, menarik untuk mencermati sepak terjang emiten ini selama masa pandemi untuk mengetahui prospeknya.

 

Strategi BIRD

Selama periode pandemi, BIRD berupaya untuk mengikuti protokol kesehatan secara ketat dalam layanan angkutan penumpang yang diberikannya. Namun, terbatasnya permintaan akibat pembatasan mobilitas menyebabkan pendapatan harian perseroan turun drastis.

Oleh karena itu, BIRD berupaya untuk mencari alternatif bisnis lain yang bisa dijalankannya dengan memanfaatkan keunggulan yang sudah dimilikinya. Perseroan pun akhirnya memutuskan untuk memperkuat layanan logistik.

Sejak 2020 lalu, perseroan meresmikan layanan logistiknya sebagai keberlanjutan dari program Chat, Order, Delivery (COD). Layanan ini ditujukan sebagai solusi dari pemenuhan kebutuhan pengiriman barang instan di tengah pembatasan mobilitas. Layanan ini semula dinamakan BirdKirim.

Layanan ini menawarkan kemudahan dan efisiensi dalam hal kecepatan layanan logistik dalam kota melalui fasilitas angkutan muat dengan kapasitas hingga 750 liter atau 200 kilogram dalam satu kali perjalanan. Perseroan mengandalkan armada taksi untuk menjalankan jasa ini.

Terbaru, perseroan telah memperluas jangkauan layanan logistiknya ke 16 kota yang selama ini sudah dilayani oleh Blue Bird Group. Sejalan dengan itu, perseroan pun mengganti nama layanannya dari sebelumnya BirdKirim menjadi Bluebird Kirim.

Beberapa wilayah yang telah tercakup dalam layanan Bluebird Kirim yakni Jabodetabek, Bali, Bandung, Cilegon, Batam, Lombok, Manado, Makassar, Medan, Padang, Palembang, Pangkal Pinang, Pekanbaru, Semarang, Yogyakarta, dan Surabaya.

Layanan ini dapat dipesan dengan mudah melalui aplikasi Mybluebird. Di aplikasi itu juga tertera keterangan real time tracking untuk pengiriman barang. Pengguna juga dapat menikmati fitur fixed price untuk mendapatkan harga yang pasti.

Perseroan telah bekerja sama dengan sejumlah partner bisnis untuk layanan ini sehingga dapat lebih optimal, antara lain dengan KAI, Indogrosir, Union, dan Paxel.

Meskipun demikian, sebagai layanan yang masih relatif baru, BIRD masih harus bekerja keras untuk mempromosikannya. Perseroan pun tampaknya tidak akan seketika mengubah fokus ke bisnis logistik dan meninggalkan bisnis pengangkutan penumpang.

Sejauh ini, belum terdengar adanya inovasi lain yang signifikan dari BIRD untuk menghadapi pandemi. Tampaknya, perseroan lebih banyak berusaha bertahan dalam situasi berat ini ketimbang terburu-buru melakukan uji coba berbagai peluang yang justru berpotensi merugikan perusahaan.

Kini, seiring dengan mulai kembali longgarnya pembatasan mobilitas, perseroan berharap dapat kembali meningkatkan jumlah unit taksi yang beroperasi hingga 50%. Perseroan mencatat bahwa pelonggaran pembatasan mobilitas umumnya selalu diikuti oleh perbaikan kinerja bisnis perseroan.

Oleh karena itu, perseroan cukup optimistis kinerjanya bakal membaik pada kuartal terakhir tahun ini,  terutama jika pembatasan mobilitas terus diperlonggar dan kenaikan kasus baru Covid-19 tidak kembali memburuk.

 

Tantangan Bisnis BIRD

Hanya saja, tantangan bagi perseroan adalah terkait optimisme masyarakat untuk kembali menggunakan angkutan umum. Kondisi pandemi selama ini telah meningkatkan sikap paranoid masyarakat dalam menggunakan layanan publik yang memungkinkan adanya kontak fisik dengan orang lain.

Selain itu, jika masyarakat kini makin terbiasa dengan pertemuan secara virtual, kemungkinan kebutuhan terhadap layanan transportasi pun akan tumbuh lebih lambat di masa mendatang. Hal ini bakal menjadi tantangan serius bagi bisnis BIRD untuk kembali bertumbuh.

Setidaknya, akan sulit untuk berharap adanya lonjakan permintaan yang signifikan bagi layanan BIRD dalam waktu dekat ini. Pemulihan mungkin tetap akan ada, tetapi tidak sampai segera mengembalikan kondisi BIRD seperti sebelum adanya pandemi.

Adapun, kinerja keuangan BIRD selama beberapa tahun terakhir memang relatif kuat, meskipun seperti dijelaskan sebelumnya, ada tren penurunan akibat disrupsi. Berikut ini riwayat kinerja keuangannya:

Dari data tersebut, terlihat bahwa kinerja BIRD konsisten menurun dari tahun ke tahun. Kendati tetap mampu mencetak laba, kinerja yang terus menurun memang bukanlah suatu pertanda positif. Jelas, perseroan sedang menghadapi tantangan besar.

Kemampuan adaptasi BIRD tentu layak diapresiasi sebab tekanan disrupsi bisnis transportasi saat ini sangat besar. Kita kini lebih mudah melihat pengendara Gojek dan Grab di jalan-jalan raya ketimbang taksi BIRD.

BIRD tidak semata-mata bersaing dengan Gojek dan Grab sebagai korporasi, melainkan dengan banyak individu mitra driver, entah ojek atau mobil, yang sama-sama berjuang di jalanan. Selain tarifnya lebih murah, akses ojek pun dapat jauh lebih luas sebab menjangkau gang-gang kecil yang tidak dapat dijangkau taksi.

Tren ride hailing ini adalah tren yang tampaknya tidak mungkin lagi berbalik. Artinya, setelah menikmati layanan transportasi yang jauh lebih mudah melalui aplikasi ride hailing, sulit rasanya untuk membayangkan masyarakat akan kembali mau untuk menggunakan model layanan gaya lama.

Layanan model lama yang mana harus menunggu angkutan di pinggir jalan, cemas dengan ketidakpastian ongkos, serta harus menyediakan uang cash untuk membayarnya, jelas terlihat tidak lagi praktis saat ini dan mulai ditinggalkan.

Jika melihat kondisi yang tergambarkan pada visualisasi kinerja keuangan BIRD di atas, terlihat bahwa beberapa tahun terakhir adalah periode yang sangat berat bagi BIRD. Ibaratnya, sudah jatuh tertimpa tangga pula.

Perseroan harus benar-benar mampu menciptakan inovasi layanan yang unggul jika ingin membawa tingkat keuntungannya kembali seperti masa-masa kejayaannya dulu. Inovasi layanan pengantaran yang dijalankan perseroan mungkin saja membuka peluang itu, tetapi tingkat persaingannya pun ketat.

Saat ini sudah sangat banyak perusahaan baru yang bergerak di jasa logistik dan kurir yang tidak kalah agresifnya dalam ekspansi. Peluang di bisnis ini memang nyata sekali, sebab potensi pertumbuhan transaksi e-commerce sangat besar di masa mendatang.

Artinya, jika tidak mampu menyediakan model layanan yang jauh lebih unggul, BIRD tetap akan kesulitan untuk mengoptimalkan keuntungan dari bisnisnya yang baru itu. BIRD mungkin masih bisa tetap bertahan, tetapi kesulitan untuk bangkit dan kembali jadi pemenang.

 

Prospek Saham

Di pasar modal, saham BIRD juga sudah lama lesu seiring dengan penurunan kinerjanya. Saham BIRD sempat mencapai level 5.000-an pada 2017 lalu, bahkan hingga 5.225 pada pertengahan tahun. Namun, sejak itu saham BIRD terus menukik turun.

Penurunan tajam tentu saja terjadi pada awal tahun lalu, ketika pandemi terkonfirmasi masuk ke Indonesia. Saham BIRD seketika anjlok dari level Rp2.600-an ke level Rp700-an. Saat ini, saham BIRD cenderung bergerak konsolidatif di kisaran Rp1.000 hingga Rp1.300.

Apakah BIRD bakal mampu kembali ke level Rp5.000? Tampaknya akan sulit jika tidak ada sentimen yang benar-benar kuat di industrinya. BIRD jelas sangat kesulitan untuk bersaing dengan perusahaan raksasa ride hailing seperti Gojek dan Grab.

Gojek bahkan kini sudah berstatus dekakorn atau perusahaan dengan valuasi di atas US$10 miliar. Sementara itu, aset BIRD saat ini hanya sekitar Rp6,87 triliun dengan ekuitas Rp5,11 triliun. Sementara itu, nilai kapitalisasi pasarnya hanya Rp3,15 triliun. Jika dibandingkan dengan kalangan startup, BIRD bahkan belum berstatus unikorn.

Meskipun demikian, valuasi saham BIRD saat ini memang tampak cukup terdiskon. Nilai kapitalisasi pasarnya bahkan lebih rendah daripada ekuitasnya. Dengan demikian, price to book value (PBV) hanya 0,62 kali.

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam beberapa waktu terakhir, petinggi BIRD memutuskan untuk menambah saham di BIRD. Co-founder BIRD Purnomo Prawiro pada Juni 2021 lalu menambah sahamnya hingga naik dari 9,62% menjadi 9,9%.

Sepanjang September 2021 lalu juga Purnomo berkali-kali membeli saham BIRD dengan harga rata-rata Rp1.180. Kepemilikannya atas BIRD kini sudah mencapai 10,38%.

Apakah ini sinyal bahwa orang dalam mengetahui adanya prospek yang lebih menjanjikan pada bisnis BIRD? Entahlah. Jika melihat peta persaingan di bisnis transportasi saat ini, tantangan bagi BIRD jelas sangat berat dan belum terlihat cela yang memungkinkan bagi perseroan untuk segera kembali melejit.

Meskipun demikian, daya tahan BIRD yang sudah teruji selama puluhan tahun tentu jangan dianggap remeh. Perseroan sudah banyak makan asam garam di industri ini. Tantangan yang dihadapi perseroan kali ini pun tampaknya bakal tetap mampu dilewati dengan kepala tegak.