UVCR: si Kuda Hitam Pasar Modal

Date:

PT Trimegah Karya Pratama Tbk. menjadi salah satu emiten yang paling panas pada awal paruh kedua tahun ini. Sejak IPO pda 27 Juli 2021, saham emiten berkode UVCR ini sangat ramai ditransaksikan oleh pelaku pasar sehingga mendorong harganya terus menghijau dan sempat terkena auto reject atas (ARA).

Emiten yang lebih dikenal dengan brand Ultra Voucher ini, baru listing di Bursa Efek Indonesia pada 27 Juli 2021 di harga Rp100, tetapi kini hingga sesi pertama perdagangan hari ini, Jumat (3 September 2021) sahamnya sudah di level Rp520. Artinya, ada peningkatan 420% dalam waktu kurang dari 2 bulan.

Kenaikan sahamnya tidak selalu konsisten. Perseroan sempat ARA selama sebulan beruntun dengan kenaikan mencapai 10% per hari, sesuai batas ARA yang diizinkan untuk emiten di papan akselerasi di level harga tersebut.

Namun, dalam 3 hari berturut-turut sepanjang September 2021, saham UVCR justru terkoreksi. Sebelumnya, saham UVCR sudah sempat menyentuh level Rp590 sebelum kembali turun.

Pergerakan harga saham seperti ini kini sama sekali tak lagi mengejutkan, saking seringnya fenomena ini terjadi. Kenaikan harga saham suatu emiten tidak melulu harus ditopang oleh kinerja fundamentalnya yang ciamik, tetapi cukup disokong oleh sentimen dan permain bandar saham.

UVCR sendiri adalah emiten yang bergerak di bisnis distribusi kupon diskon elektronik, kupon belanja, atau gift card dan masuk dalam jajaran penghuni indeks IDX Sector Technology. Saat ini, saham-saham sektor teknologi sedang sangat digandrungi pasar sehingga UVCR turut kecipratan imbasnya.

Namun, terlepas dari sentimen apapun, kita tetap perlu mencermati kondisi fundamental dan prospek bisnis dari emiten yang bersangkutan. Sebab, dalam jangka panjang, pergerakan harga saham suatu emiten cenderung akan sejalan dengan kondisi fundamentalnya.

Oleh karena itu, menarik untuk mencermati bisnis UVCR. Apalagi, perusahaan ini merupakan perintis emiten di bidang  voucher digital, lini bisnis yang sangat baru di pasar modal. Selain itu, pada saat IPO, manajemen UVCR juga mengungkapkan rencananya untuk go international, setidaknya di pasar Asean.

 

Strategi dan Target Bisnis

Sampai artikel ini ditulis, UVCR belum merilis kinerja keuangannya untuk periode 30 Juni 2021. Oleh karena itu, informasi terkini tentang kinerja keuangannya adalah berdasarkan prospektus yang diterbitkan perseroan dalam rangka IPO.

Jika mengacu pada data tersebut, UVCR tercatat membukukan kinerja keuangan yang cukup kuat. Pada 2020 lalu, pendapatannya turun, tetapi labanya melesat tinggi. Sementara itu, pada kuartal pertama tahun ini, pendapatan perseroan meroket, sedangkan bottom line berbalik dari rugi menjadi laba.

Berikut ini rincian kinerja keuangan UVCR:

Kondisi pandemi menjadi pendorong kinerja perseroan. Permintaan terhadap layanan digital meningkat signifikan selama pandemi. Seiring dengan itu, upaya promosi pun banyak dilakukan oleh berbagai platform digital. Oleh karena itu, jasa UVCR sebagai penyedia kupon digital banyak dicari.

Saat IPO, perseroan berhasil meraup dana Rp50 miliar. Jumlah itu setara dengan 25% dari total saham beredar perseroan. Perseroan berencana menggunakan 36% dana itu untuk belanja modal, khususnya untuk pengembangan produk dan fitur baru.

Sementara itu, 34% lainnya akan digunakan untuk operating expenditure atau biaya operasional, khususnya pengembangan kanal distribusi dan pemasaran. Selanjutnya, 30% sisa dana IPO akan digunakan untuk peningkatan modal kerja, khususnya pembelian persediaan kupon.

Dengan tambahan modal segar ini, perseroan optimistis pada akhir tahun ini, pendapatannya akan menembus Rp1 triliun, sedangkan laba bersihnya Rp12,1 miliar. Artinya, pendapatan dan laba UVCR masing-masing akan melesat 195% dan 665% secara tahunan atau year-on-year (YoY).

Untuk mencapai target itu, perseroan berencana untuk mengembangkan produk, fitur baru, saluran distribusi, dan pemasaran. Bisnis UVCR saat ini terdiri atas 4 kanal distribusi utama, yakni business-to-business (B2B), e-commerce, direct to retail, dan reseller.

Sederhananya, jasa yang ditawarkan perseroan adalah menyediakan voucher yang dibuat oleh merchant yang bekerja sama dengan perseroan melalui aplikasi Ultra Voucher. Di situ, para pengguna dapat menemukan berbagai kupon tersebut dan dapat membelinya.

Kupon fisik dan digital merupakan alat tukar berbentuk kupon yang dibuat oleh merchant yang dapat dibelanjakan sesuai dengan kondisi dan ketentuan tertentu. kupon itu pun dapat dipindahtangankan atau dikirim sebagai hadiah atau gift card.

Pada saat IPO, kupon yang ada di Ultra Voucher sudah dapat digunakan pada lebih dari 300 brand yang tersebar di lebih dari 40.000 outlet. Para mitra merchant UVCR ini berasal dari berbagai segmen seperti Beauty & Relaxation, Departement Store, E-Commerce, Entertainment, Food & Beverage (F&B), Hotel & Travel, Accessories & Jewelry, Lifestyle, Investment, dan lain-lain.

Sementara itu, dari sisi channel distribusi, selain dapat diakses melalui aplikasi Ultra Voucher, kupon UVCR juga disebarkan melalui Tokopedia, Shopee, Lazada, dan berbagai platform lainnya.

Industri ini kini dalam fase pertumbuhan dan sedang sangat pesat, seiring dengan perkembangan transaksi digital, terutama di e-commerce. Untuk memacu bisnisnya dan mengejar target yang dipatok untuk tahun ini,  perseroan menyasar lebih banyak ekosistem digital lainnya.

Salah satu yang diincar adalah ekosistem digital perbankan yang kini juga sedang hype. Terbaru, UVCR berkolaborasi dengan PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) untuk menyediakan kupon bagi nasabah BCA pengguna aplikasi mobile banking yang suka berbelanja digital.

Diskon yang ditawarkan melalui Ultra Voucher dapat meningkatkan transaksi di mobile banking. Seiring dengan itu, nasabah pun akan meningkatkan saldo tabungannya agar dapat bertransaksi. Hal ini turut menguntungkan BCA, sehingga kerja sama ini menjadi saling menguntungkan.

Adapun, hingga paruh pertama tahun ini, BCA sudah memiliki 26 juta rekening nasabah dan memproses sekitar 41 juta transaksi setiap hari. Ini potensi besar bagi UVCR untuk mengakuisisi nasabah. Pola yang sama akan dijajaki pada bank lainnya.

Seiring dengan bertambahnya channel distribusi, daya tawar perseroan juga akan makin tinggi dengan para merchant sehingga dapat meningkatkan minat lebih banyak merchant untuk bermitra dengan perseroan. Sebab, jangkauan perseroan akan menjadi makin luas.

Pada saat IPO, member Ultra Voucher sudah mendekati 300.000, naik hampir dua kali lipat dari tahun lalu yang mencapai 180.000. Klien perusahaannya pada akhir 2020 sudah mencapai 250 perusahaan.

Sementara itu, aplikasinya sudah diunduh mendekati 300.000 dengan sekitar 10.000 pengguna yang bertransaksi setiap bulannya. Perseroan mengklaim pertengahan tahun ini jumlah pelanggan aktif sudah meningkat sekitar 100% dibanding tahun lalu, sedangkan jumlah pengunduhan naik 50%.

Setiap bulannya, Ultra Voucher bisa mengakuisisi 20 sampai 50 brand, sehingga diharapkan sampai akhir tahun 2021 dapat mencatatkan 500 merchant dengan 500.000 outlet. Pertumbuhannya akan kian pesat di masa mendatang jika strategi yang dijalankan perseroan dapat mulus.

Perseroan juga berencana untuk melebarkan sayap bisnisnya ke Asean dengan Malaysia dan Singapura sebagai negara awal yang dituju. Dua negara tersebut dipilih karena Ultra Voucher sudah menjalin kemitraan dengan perusahaan asal sana yang memiliki basis pelanggan di Indonesia.

Peluang Ultra Voucher untuk menggarap pasar internasional sangat besar, sebab perusahaan sudah memiliki pelanggan, klien korporasi, dan reseller yang merupakan perusahaan multinasional. Dengan begitu, melalui kemitraan, Ultra Voucher berharap dapat lebih mudah menjangkau basis pelanggan mitra yang ada di luar negeri.

 

Menilai Valuasi UVCR

Jika target bisnis UVCR tahun ini tercapai, tentu saja prospek bisnisnya akan cerah. Setidaknya, perseroan sudah berhasil mencetak laba dan tidak terjerat dalam strategi bakar duit yang berkepanjangan.

Sebagai perusahaan digital, perhitungan atas valuasi UVCR mungkin saja akan diperdebatkan. Namun, tidak ada salahnya untuk tetap menilai UVCR berdasarkan perhitungan valuasi tradisional.

Saat ini, jika mengacu pada data RTI, price to earning ratio (PER) atau rasio harga saham berbanding laba per saham UVCR sangat tinggi, yakni 653,45 kali. Umumnya, suatu perusahaan dengan PER ratusan kali sudah dianggap sangat mahal.

Sebagai pembanding, emiten teknologi lain yang lebih solid bisnisnya yakni PT Metrodata Electronics Tbk. (MTDL) hanya memiliki PER 12,84 kali. Namun, jika dibandingkan dengan perusahaan teknologi pendatang baru lainnya seperti PT DCI Indonesia Tbk. (DCII) yang PER-nya 511,79 kali, UVCR ada dalam tren yang sama.

Secara umum, kemampuan UVCR dalam menghasilkan laba relatif tidak besar. Setidaknya jika mengacu pada kinerja keuangannya pada kuartal pertama tahun ini, margin laba bersih atau net profit margin (NPM) UVCR hanya 0,28%. Ini bahkan turun dibanding NPM akhir 2020 yang sebesar 0,47%.

Lalu jika mengacu pada targetnya tahun ini, yakni pendapatan Rp1 triliun dan laba Rp12,1 miliar, NPM UVCR juga masih sangat rendah, yakni hanya 1,21%. Meskipun demikian, setidaknya NPM tersebut meningkat.

Dengan margin keuntungan yang sangat rendah ini, bisnis UVCR sejatinya kurang efektif. Namun, ini lebih baik dari pada rugi. Berdasarkan data RTI, rasio laba berbanding aset (return on asset/ROA) dan laba berbanding modal (return on equity/ROE) UVCR untuk 2020 juga sangat rendah, masing-masing hanya 3,22% dan 5,20%.

Sementara itu, rasio keuangan lainnya yakni rasio harga terhadap nilai buku per saham atau price to book value (PBV) UVCR mencapai 33,67 kali. Ini jelas sangat tinggi. Bandingkan misalnya dengan PBV PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. yang hanya 2,44 kali.

Jika mengacu pada semua data ini, jelas harga UVCR sudah tak lagi wajar. Atau setidaknya, kenaikan harganya saat ini jauh melebihi kecepatan pertumbuhan aktual bisnisnya.

Mungkin saja kinerjanya hingga akhir tahun ini akan benar-benar sepesat yang ditargetkan, tetapi belum cukup untuk menyusul kenaikan harganya saat ini yang sudah lebih dahulu terjadi secara berlebihan.

Namun, bisnis UVCR juga bukannya tanpa risiko. Sebagai pemain di industri digital, perseroan terpapar oleh tantangan utama keamanan data dan peretasan atau penipuan. Selain itu, model bisnisnya relatif mudah ditiru, sehingga tidak menutup kemungkinan akan segera ada pesaing baru yang bakal memperketat perebutan kue di bisnis ini.