Pemilihan Komisaris dan Prestasi BUMN di Kancah Global

Date:

[Waktu baca: 5 menit] 

Sudah jatuh tertimpa tangga. Peribahasa tersebut agaknya cocok untuk menggambarkan kondisi perusahaan-perusahaan BUMN di Indonesia.

Belum lama, citra BUMN menjadi pusat lampu sorot menyusul keputusan Menteri BUMN Erick Thohir mengangkat Abdi Negara Nurdin alias Abdee, gitaris grup musik Slank sebagai komisaris PT Telekomunikasi Indonesia Tbk alias Telkom.

Pengangkatan Abdee, yang juga eks pendukung Presiden Jokowi saat Pilpres 2019 sebenarnya bukan hal baru. Erick sebelumnya juga pernah menunjuk orang-orang eks relawan Jokowi lain sebagai komisaris berbagai BUMN.

Namun, pengangkatan kali ini menuai lebih banyak respons negatif lantaran terjadi ketika tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang dalam tren menurun sejak kedatangan pandemi Covid-19.   

Imbasnya bisa ditebak. Dalam sepekan terakhir, media-media arus utama di Indonesia kembali mengangkat banyak isu lama. Mulai dari kinerja jeblok sejumlah BUMN, masalah gendutnya struktur BUMN anak dan cucu BUMN yang seringkali membuat tugas masing-masing tidak efektif, hingga perkara utang yang semakin menggunung.

Dan, meski terkesan menangkap momen, pemberitaan-pemberitaan tersebut tak berlebihan. BUMN di Indonesia memang memerlukan banyak perbaikan. Buruknya performa BUMN bisa dilihat dari hal-hal sederhana. Misal, minimnya prestasi dan pengakuan global.

Dalam daftar Fortune Global 500 yang merekapitulasi 500 perusahaan terbaik dunia, pada 2020 tak ada satu pun nama perwakilan Indonesia yang berstatus BUMN. PT Pertamina (Persero), yang pada 2019 sempat masuk dalam daftar dan duduk di urutan 175, terdepak dari gelar mentereng mereka karena kinerja yang kalah saing dari kompetitor lain di dunia.

Bandingkan misal dengan negara Asia lainnya, China. Dari 97 perusahaan yang berada di bawah naungan Kementerian BUMN China alias State Owned Asset Supervision and Administration (SASAC), sebanyak 48 perusahaan alias hampir separuhnya masuk dalam daftar prestisius tersebut pada tahun lalu.

Perbandingan bertolak belakang tersebut sempat bikin Erick Thohir malu-malu kucing saat tampil sebagai salah satu pembicara dalam press-briefing dengan pemerintah Negeri Panda di China, 2 April 2021 silam.

Sambil menutupi kekecewaannya, dalam kesempatan tersebut Erick sesumbar mengatakan bahwa dirinya akan menarget dalam 3 tahun ke depan ada 4 BUMN asal Indonesia yang masuk daftar tersebut.

Sebagai informasi, terlepas dari konteks tidak adanya perwakilan BUMN Indonesia pada 2020, bila direkapitulasi sejak 2018 setidaknya sempat ada 2 nama perwakilan BUMN Indonesia yang masuk meski akhirnya terlempar keluar. Keduanya adalah PT Pertamina dan PT PLN.

“Tentu yang menggelitik buat saya tadi mengatakan jika memang BUMN China 40 perusahaan bisa masuk ke top 500, kenapa Indonesia hanya dua? Saya tidak bisa menyebut target apapun yang pasti saya bilang nanti double. Kalau bisa empat alhamdulillah,” kata Erick.

Namun, mesti diakui bahwa di atas kertas, mengharapkan 4 perwakilan BUMN Indonesia bisa masuk daftar tersebut merupakan target yang tidak mudah.

Bila mengacu laman resminya, Fortune sempat menjelaskan bahwa kriteria utama yang dipatok untuk mengukur daftar perusahaan global yang masuk Fortune Global 500 adalah adanya kenaikan pertumbuhan kinerja yang signifikan pada pos pendapatan maupun laba bersih dari tahun ke tahun. Tingkat pertumbuhan yang dimaksud pun harus berada di atas median alias batas tengah perusahaan-perusahaan dunia.

Faktor keseimbangan neraca, kemampuan menangani utang, hingga peningkatan jumlah karyawan turut jadi pertimbangan penting.

Persoalannya, sudah jadi rahasia umum bahwa pandemi Covid-19 telah membuat BUMN-BUMN paling berprestasi sekalipun kelimpungan.
Sejauh ini BUMN yang telah menunjukkan tanda-tanda nyata perbaikan barangkali baru PLN dan Pertamina.

Sepanjang 2020 PLN, perusahaan yang nyaris tak punya kompetitor di dalam negeri itu membukukan laba bersih Rp5,9 triliun alias naik 38,6 persen dari kinerja Rp4,3 triliun pada 2019. Kenaikan tersebut ditopang konsumsi listrik yang semakin tinggi, dengan pendapatan usaha mencapai Rp345,4 triliun serta efisiensi teknis dan operasional.

Pertamina, di saat yang sama, menghasilkan laba bersih hingga US$1 miliar atau sekitar Rp14 triliun lebih pada 2020. Langkah perseroan mengantisipasi penurunan permintaan BBM dengan pemotongan belanja operasional mampu membuat perusahaan ini tetap solid.

Tapi di luar kedua perusahaan tersebut, sebagian besar BUMN Indonesia masih tampak berdarah-darah. Bahkan perusahaan-perusahaan perbankan pelat merah seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk. (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk. (BMRI), hingga PT Bank Negara Indonesia Tbk. (BBNI) yang sebelumnya rutin mencatatkan pertumbuhan juga kompak mengalami pelemahan kinerja sepanjang 2020.

Di antara jajaran bank pelat merah, cuma PT Bank Tabungan Negara Tbk. (BBTN) yang masih cenderung mencatatkan pertumbuhan laba.

Pertumbuhan Laba Bank BUMN dari 2019 ke 2020

(sumber: Katadata)

Belum lagi jika bicara soal utang, yang juga jadi salah satu kriteria penilaian penting suatu perusahaan untuk masuk daftar unggulan Fortune.
Per kuartal III/2020 lalu, laporan Kementerian BUMN menyebut bahwa total utang 100 lebih BUMN di Indonesia telah menembus angka Rp1.682 triliun.

Nominal tersebut membengkak 20 persen lebih dari nominal utang BUMN per akhir Desember 2019 yang mentok di kisaran Rp1.393 triliun.
Ironisnya, pembengkakan tersebut bukan yang pertama. Bila dirunut, sejak 2017 BUMN-BUMN di Indonesia secara konsisten terus membukukan penggumukan utang.

Utang BUMN (dalam triliunan rupiah)

(sumber: Sindonews)

Patut disayangkan pula karena kontributor utama peningkatan utang tersebut justru banyak bersumber dari perusahaan yang sebenarnya sudah punya nama besar dan riwayat bisnis menjanjikan.

Yang terakhir jadi sorotan, misalnya adalah PT Garuda Indonesia Tbk. (GIIA). Mengacu laporan keuangan terakhir, utang maskapai pelat merah tersebut telah menyentuh nominal Rp70 triliun lebih. 

Ada pula PT Perkebunan Nusantara (PTPN) dan PT Kereta Api Indonesia yang sempat disinggung Erick Thohir memiliki utang masing-masing di atas Rp40 triliun. 

Belum lagi jika bicara BUMN karya. Nama-nama seperti PT Wijaya Karya Tbk. (WIKA), PT Waskita Karya Tbk. (WSKT), PT Pembangunan Perumahan Tbk. (PTPP) hingga PT Adhi Karya Tbk. (PTPP) yang juga berkontribusi besar terhadap utang-utang BUMN.

Tak peduli berapapun pertumbuhan kinerja yang dibukukan perusahaan-perusahaan di atas, selama tak mampu mengurangi utang masing-masing, agaknya mustahil mengharapkan mereka bisa menembus daftar 500 perusahaan terbaik dunia.

Harapan sebenarnya sempat muncul seiring pertumbuhan menjanjikan yang sempat ditunjukkan Telkom dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih perusahaan ini juga sempat sesumbar bahwa masuk dalam jajaran Fortune Global 500 merupakan target yang realistis untuk digapai.

“Cukup banyak keunggulan-keunggulan yang dimiliki Telkom, dan merek milik Telkom yakni Telkomsel merupakan merek yang terkuat dalam telekomunikasi,” kata Renald Khasali pada medio Juni tahun lalu, saat masih menjabat Komisaris Utama Telkom.

Pada 2020, di bawah kepemimpinan manajemen lama, Telkom toh memang berhasil membuktikan bahwa kinerja mereka cemerlang. Mengacu laporan keuangan tahunan, tahun lalu mereka membukukan pertumbuhan laba 11,46 persen dari Rp18,66 triliun menjadi Rp20,8 triliun.

Kinerja TLKM (dalam miliaran rupiah)

(sumber: laporan keuangan perusahaan)

Namun, kinerja tersebut lebih banyak dipicu oleh efisiensi biaya. Buktinya pula, secara pendapatan, capaian Rp136,46 triliun yang dibukukan Telkom tahun lalu hanya tumbuh 0,66 persen dari kinerja 2019.

Dengan bekal itu, emiten telekomunikasi pelat merah tersebut mesti kembali menunda ambisi besarnya mengikuti jejak yang sempat ditorehkan PLN dan Pertamina dalam 3 tahun terakhir.

Kini, di bawah kemudi manajemen baru yang salah satunya dipertegas lewat kedatangan sosok Abdee Slank, patut dinanti apakah ambisi Telkom untuk masuk jajaran elite bisa segera terealisasi atau masih hanya akan jadi mimpi siang bolong.
 
 

Tags: